I. Pendidikan Gerakan Masa Kolonial
1. Fase abad XIX
Politik etis yang dipraktekkan oleh kolonial Belanda menghasilkan lapisan intelektual di kalangan pribumi, khususnya kaum priyayi. Kaum priyayi berkenalan dengan cara pikir Eropa, baik tentang politik dan pemerintahan, sampai sejarah bangsa-bangsa. Mereka mempelajari cita-cita Revolusi Besar Prancis di bawah semboyan: persamaan, persaudaraan, kemerdekaan, mempelajari perjuangan kemerdekaan bangsa Amerika, tentang proses pembentukan negara kesatuan Jerman dan Itali. Mereka juga mulai membaca koran-koran berbahasa Belanda yang memberitakan pemberontakan-pemberontakan bangsa terjajah, seperti di Irlandia, Mesir, dan India. Dari sinilah bibit-bibit nasionalisme mulai muncul.
2. Fase awal abad XX
Kemunculan organisasi-organisasi pergerakan, mulai dari Budi Utomo, Partai Komunis Hindia, Perhimpunan Indonesia, dsb. Kemunculan gerakan diikuti oleh aktivitas progresif dalam idang pendidikan. Dimulai dari gerakan Jawa Dipa yang menekankan perjuangan pada aspek budaya, yaitu melawan budaya feodalisme Jawa (dimulai tahun 1914), sampai kemudian berubah menjadi Hindia Dipa (1921).
Pada tahun 1922 gerakan ini meredup, namun telah berhasil menjadi inspirasi bagi gerakan lebih lanjut, yaitu gerakan sekolah liar (wilde schoolen) yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara. Sekolah liar ini belakangan lebih dikenal sebagai Taman Siswa. Melalui sekolah ini Ki Hadjar melanjutkan penolakan terhadap Nasionalisme Jawa dan mengembangkan ide kebangsaan yang internasionalisâ€â€sebagai kelanjutan gerakan Hindia Dipa. Meski masih menimbulkan sejumlah polemik mengenai strategi budaya yang dijalankannya , semangan Ki Hajar Dewantara saat itu adalah menggunakan pendidikan sebagai salah satu media pembebasan rakyat dari penindasan.
Pada masa yang sama, berkembang pula gerakan penerbitan bacaan alternatif yang dicap oleh pemerintahan kolonial sebagai “bacaan liarâ€Â.
Pelopornya adalah R.M. Tirtoadhisoerjo, yang kemudian mendorong beberapa tokoh terakan untuk melakukan hal yang sama, seperti Mas Marco Kartodikromo, Soeardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono dan lainnya. Mereka semua menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin (kromo). Bacaan-bacaan yang mereka hasilkan merupakan ajakan untuk mengobati badan bangsanya yang sakit karena kemiskinan, juga jiwanya karena kemiskinan yang lain, kemiskinan ilmu dan pengetahuan. Bacaan turut mengambil peran penting dalam memberikan pencerahan dan ilmu pengetahuan kepada rakyat.
Pemberontakan 1926 tidak terlepas dari gerakan-gerakan tersebut. Meski gagal, pemberontakan yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia ini telah menjadi pemicu dan inspirasi bagi kalangan pemuda dan gerakan selanjutnya, seperti tercetusnya sumpah pemuda 28 Oktober 1928, pendirian partai-partai politik seperti PNI, Partindo, dsb.
II. Massa Pendudukan Fasisme Jepang
Pada masa pendudukan fasisme Jepang, kaum pergerakan tidak dapat leluasa mengadakan pertemuan-pertemuan, ataupun menerbitkan bacaan. Kekuatan politik yang menghendaki kemerdekaan terpecah menjadi dua kelompok. Pertama yang menentang fasisme Jepang, dan kedua merangkul Jepang sebagai sekutuâ€â€karena dipercaya akan memerdekakan Indonesia. Kelompok yang menentang ini ditindas, dan dipenjara, termasuk Amir Syarifudin yang menjadi salah satu tokoh kuncinya. Meski demikian, kerja-kerja bawah tanah tetap dilakukan. Misalnya penterjemahan dan penyebaran Manifesto Partai Komunis oleh kalangan pemuda, pembentukan organisasi anti fasis, dan aktivitas lainnya. Aspek pendidikan bagi gerakan pada masa ini lebih banyak mendapatkan pelajaran dari pengalaman berjuang.
III. Masa Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Tahun 1945 sampai 1965 adalah periode perjuang melepaskan diri secara penuh dari jerat kolonial. Terdapat masa di mana kompromi yang dilakukan oleh para pimpinan republik menimbulkan ketidakpuasan pada golongan radikal (1945 – 1951). Kemudian berubah, ke suatu garis anti imperialisme yang lebih tegas (1952 – 1965).
Masa sebelum 1951 adalah masa pergolakan fisik, yang memberikan pelajaran-pelajaran penting kepada rakyat.
Menjelang 1965, polarisasi politik melahirkan dua kubu dalam pergerakan. Kubu pertama berada di sisi kiri, dengan garis politik anti imperialisme, sedangkan kubu yang lain berada di sisi kanan, dengan garis politik pro imperialismeâ€â€terutama untuk kalangan pemudanya, dikarenakan mimpi tentang demokrasi dan liberalisasi.
Kedua kubu gerakan ini menjalankan aktivitas pendidikan pada rakyat. Namun polarisasi politik tersebut semakin menunjukkan pembesaran pada kubu kiri, sedang dukungan massa terhadap kubu kanan semakin berkurang. Dalam pemilu 1955 Partai Komunis Indonesia (sebagai motor dari kubu kiri) menempati peringkat empat secara nasional. Berikutnya, dalam pemilu lokal tahun 1962, PKI berhasil memenangkan mayoritas suara di daerah Jawaâ€â€kecuali di Jawa Barat dan DKI Jakarta, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sumateri Barat.
Semangat dari pendidikan gerakan saat itu sesuai dengan garis politik setiap kubu gerakanâ€â€yang didominasi oleh kubu kiri yang terdiri dari PKI dan Nasionalis/Soekarnois Kiri.
IV. Orde Baru
Periode orde baru adalah periode kehancuran sekaligus kebangkitan kembali gerakan rakyat. Setelah melumatkan kekuatan kaum kiri, melalui pembantaian, pemenjaraan, pembuangan, dll, diktator militer langsung membuka ekonomi nasional bagi kepentingan modal asing. Situasi ini berbalik delapan puluh derajat dari masa pemerintahan Soekarno. Modal internasional yang masuk segera melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam dan rakyat Indonesia.
Eksploitasi melahirkan perlawanan, dan terus ditindas oleh rejim militeris Soeharto. Potensi politik rakyat dimatikan. Ilmu pengetahuan atau teori perjuangan dibatasi atau dilarang. Sekolah-sekolah mengajarkan sejarah yang dimanipulasi.
Kaum pergerakan tak surut-surut dalam perlawanan. Berturut-turut sejak 1971, 1974, 1978, 1980-an, 1990-an. Interaksi antara rakyat dengan unsur-unsur gerakan demokrasi melahirkan kekuatan yang menakutkan bagi rejim diktator. Media pendidikan dan bacaan adalah salah satu instrumen penting dalam memajukan kesadaran rakyat. Momentum awal interaksi tersebut adalah peristiwa Kedung Ombo, yang kemudian mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Isi dari pendidikan politik tersebut antara lain mengungkap manipulasi sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru, mengadvokasi kasus-kasus rakyat sembari menjelaskan hak-hak ekonomi-politik mereka, sampai dengan masalah demokratisasi di Indonesiaâ€â€yang menjadi kebutuhan mendesak saat itu.
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan politik di bawah syarat represif, kaum pergerakan memanfaatkan sebisa mungkin setiap kesempatan yang muncul dari situasi obyektif. Potensi serta perlawanan spontan massa adalah lahan subur bagi menyebarnya teori perjuangan. Pertemuan-pertemuan rahasia kerap dilakukan untuk berdiskusi dan menyusun rencana politik. Tak terhindarkan, pertemuan-pertemuan tersebut menjadi sarana pendidikan politik bagi massa yang berlawan. Demikian juga bacaan-bacaan yang menjelaskan tentang demokrasi dan keadilan meyebar secara sembunyi-sembunyi di kalangan massa.
Kesimpulan-kesimpulan:
1. Bahwa pendidikan menjadi media bagi pergerakan untuk mentransformasikan kesadaran politik. Hal ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap konsep pendidikan yang diberikan oleh penguasa pada periode tertentuâ€â€yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
2. Oleh karena itu, pendidikan dalam pergerakan rakyat perlu dilandasi pada kondisi obyektif yang melatarinya.
3. Bahwa perkembangan pendidikan dalam pergerakan adalah sesuatu yang dialektis, atau saling mempengaruhi. Pasang-surut gerakan berpengaruh terhadap efektivitas penyebaran ide pembebasan rakyat. Demikian juga pendidikan politik yang disampaikan secara meluas kepada rakyat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan sosial dan politik.
4. Bahwa dalam situasi politik tertentu, massa rakyat memperoleh bekal pendidikan dari dinamika obyektif yang terjadi. Dalam situasi semacam ini, efektivitas pendidikan politik dapat lebih terasa out put-nya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Penyebabnya, dalam situasi politik yang dinamis, kesadaran massa cenderung meningkat, sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan politik dari lingkungan obyektifnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SEMAUN
Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra'jat Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai Maksoednja jaitoe HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA'JAT HINDIA (Semaoen, 24 Djoeli 1919)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar