Minggu, 14 November 2010
Cerpen: Lelaki Tua dan Becaknya
Akhirnya aku putuskan untuk mampir juga ke rumah kontrakan Lelaki Tua di Kota T. Aku mendapatkan alamatnya dari seorang kawan via sms. Lelaki Tua itu tinggal di Kampung A RT 17/RW 08 No 45. Begitu mudah dihapalkan: tujuh belas agustus tahun empat lima, bagian lagu yang populer pada masa sekolah terutama ketika menjelang, selama dan beberapa hari sesudah peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bukankah itu hari yang tak mungkin dilupakan?
Di kota T, Lelaki Tua dicintai anak-anak. Lelaki Tua memang belum punya anak. Ia bahagia anak-anak berkumpul di sekitarnya dan anak-anak pun bahagia bila bersama Lelaki Tua dan becaknya. Becaknya begitu lebar sehingga bisa menampung anak-anak dalam jumlah banyak. Sambil mengayuh becak ia bercerita dan bernyanyi. Nyanyiannya bagus-bagus. Anak-anak suka. Banyak orang tua kemudian percaya pada Lelaki Tua dan menyerahkan anak-anaknya untuk diantar berangkat ke sekolah dan pulang ke rumah dengan memberikan uang bulanan yang cukup. Dengan cara itulah ia mulai menabung.
Ia menabung terus dan terus. Orang-orang mulai curiga bahwa Lelaki Tua akan kawin lagi karena menginginkan anak sebab isterinya tak dapat memberikan anak. Lelaki Tua tahu bahwa ia menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Suatu kali ia mengatakan dalam sebuah pertemuan warga bahwa ia menabung untuk membeli mobil angkot. Orang-orang pun heran bahwa Lelaki Tua hendak mengubah profesi dari tukang becak menjadi sopir angkot. Sebagian mencibir tak percaya bahwa Lelaki Tua bisa membeli mobil angkot. Sebagian lagi menyarankan agar Lelaki Tua menerima hidupnya dengan terus menjadi tukang becak bahkan seharusnya bersyukur sudah mendapatkan langganan tetap antar jemput dengan pendapatan lumayan. Lagi pula usia sudah memasuki kepala 7 apalagi yang hendak dicari? Apakah masih bisa menjadi sopir angkot?
Lelaki Tua pun menjawab bahwa hidup harus berubah. Orang-orang pun menyarankan agar Lelaki Tua belajar dulu menyopir sebelum membeli mobil angkot. Lelaki Tua pun menurut dan mulai belajar menyopir pada rekannya yang sudah lebih dahulu menjadi sopir angkot.
Aku pun mulai menyusuri jalan dan lorong yang mengantarkan aku ke rumah Lelaki Tua. Berkali-kali ia dengan penuh harap selalu meminta aku untuk mampir ke rumah kontrakannya. Tapi selalu juga aku menjawab: “Ok. Suatu kali nanti aku mampir. Aku harus jalan lagi.” Begitulah selalu bila aku bertemu dengannya entah di acara seminar, diskusi, atau sesudah sama-sama terlibat dalam aksi demonstrasi. Dan tanpa rasa kecewa: ia pun menjawab: “Ok. Tetap semangat,” sambil menjabat tanganku erat dan bersemangat secara komando dengan tangan kanannya yang kokoh.
Lelaki Tua sederhana itu sejak mula kukenal sebagai tukang becak yang cerdas dan berani. Aku tahu ia beristeri tapi aku jarang melihat ia mengajak isterinya dalam berbagai acara yang diikuti. Aku masih ingat pertemuan pertamaku dengannya saat kami sama-sama marah atas perlakuan Pemerintah terhadap Partai Banteng. Partai itu dipecah-belah, anggota dan kadernya diteror dan diintimidasi. Kantornya diserbu dan yang bertahan di kantor itu dibunuh. Kudengar dari orang-orang yang mengenalnya, Lelaki Tua itu termasuk salah satu anggota partai yang ikut berjaga di kantor itu pada malam penyerbuan jahanam itu. Ia berhasil lolos.
Luar biasa. Ia hanya tukang becak. Tapi semangat membacanya tinggi. Semua selebaran, majalah dan tabloid yang aku jual, selalu dibeli dengan senyum. Lebih dari itu, terkadang ia masih sempat menraktir makan atau sekadar minum-minuman ringan bila berjumpa dalam aksi demonstrasi.
“Kalau untuk aksi, kuusahakan selalu ikut,” katanya suatu kali.
“Tapi jangan hanya aksi saja diikuti. Diskusi dan membaca juga penting,” kataku.
“Ya. Tentu. Perkumpulan Tukang becak sudah siap dibentuk. Kamu harus datang ke acara pemilihan pengurus karena kami akan sekaligus mendiskusikan marhaenisme ajaran Bung Karno.”
“Wow. Luar biasa. Berapa anggotanya?”
“Sementara 20 orang. Kamu bisa bantu mengajar filsafat kan?”
Aku menjawab bisa. Waktu itu Jendral Besar belum jatuh. Aku datang ke pertemuan pembentukan perkumpulan tukang becak itu. Berdua puluh-an mereka berkumpul di rumah seorang pengurus Partai Banteng yang sedang dipecah-belah dan dihancurkan itu. Wajah-wajah yang bersemangat untuk berkumpul dan membikin perhitungan dengan ketidakadilan itu tidak menampilkan diri sebagai para tukang becak yang setiap hari bergelut dengan kebutuhan mendesak ekonomi tapi mereka berkumpul dan berbicara politik serta melakukan perjuangan politik.
“Kita akan memboikot pemilu agar pemilu menjadi tidak sah di hadapan rakyat,” seru Lelaki Tua yang dipilih menjadi ketua Perkumpulan Tukang Becak Kota T, “kabarkan pada seluruh kawan tukang becak di kota T ini untuk tidak ikut pemilu karena pemerintah telah bertindak curang dengan menghancurkan dan memecah-belah Partai Banteng.”
Sesudah Lelaki Tua menjadi ketua Perkumpulan Tukang Becak di Kota T itulah, kami menjadi semakin sering bertemu. Sebagai orang yang bertanggung jawab dalam perluasan organisasi Partai, aku diwajibkan untuk mendorong perkumpulan tukang becak itu bertemu dengan berbagai kelompok kaum miskin kota seperti pengamen, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima dan berbagai sektor pekerjaan informal lainnya serta perkumpulan buruh dan mahasiswa di Kota T. Kami pun semakin akrab dalam pertemuan atau rapat-rapat antar ketua-ketua organisasi massa kaum miskin kota, mahasiswa dan buruh tersebut.
“Bagaimana kamu bisa menjadi pengagum Bung Karno?” tanyaku suatu kali.
“Hanya Bung Karno yang mencintai wong cilik seperti saya. Ia selalu menyebut Tukang Becak dalam setiap pidatonya.”
“Itu pekerjaanmu sejak mula?”
Lelaki tua tak menjawab.
***
“Akhirnya Bung, sampai juga di rumah kontrakan kaum marhaen ini,” sapanya menyambutku begitu aku sampai di halaman deretan rumah petak yang salah satunya dihuni Lelaki Tua. Ia sedang membersihkan becak kesayangannya dan tentu saja kesayangan anak-anak itu.
“Ya. Senang sekali bisa mampir ke rumah Bung ini. Lelaki Tua yang bersemangat perubahan.” Lelaki Tua tersenyum.
Kami bicara panjang lebar tentang masa-masa melawan Jendral Besar dan bagaimana kami bisa bertemu dan berkawan. Kami pun bercerita tentang kawan-kawan pergerakan selama melawan Jendral Besar. Ada yang berubah dan ada yang tetap.
“Becak ini akan aku singkirkan dari penghidupanku,” kata Lelaki Tua tiba-tiba.
“Ya. Aku dengar kamu akan menggantinya dengan mobil angkot dan kini sedang menabung?”
“Ya. Aku tidak perlu romantis dengan becak ini. Menjadi kaum marhaen yang baik kan tidak harus selalu menjadi tukang becak atau wong cilik kan?” Aku tidak menjawab hanya mengangguk.
Terus terang aku mengagumi hidupnya walau aku tak begitu tahu asal-usulnya, Lelaki Tua adalah tukang becak yang mengerti politik dan cita-cita hidupnya. Ia pun sanggup mengubah hidupnya demi cita-citanya dan untuk itu Lelaki Tua seperti tak lelah mengarungi jaman.
***
“Mobil angkot sudah kubeli,” kabarnya via sms
“Becakmu?”
“Kuberikan pada ketua baru Perkumpulan Becak di Kota T. Semoga kawan-kawan tukang becak, tetap berkumpul. Aku hanya berpesan: cintailah anak-anak. Aku siap menjalankan tugas sejarah berikutnya.”
“Wah..hebat. Bung masih berniat terlibat dalam perjuangan pada umur setua itu.”
“Apakah Bung berniat pensiun bila sudah setua aku?”
Lama aku tidak menjawab. Lelaki Tua mengirimkan sms lagi:
Kebahagiaan yang sejati adalah selalu dalam perjuangan.
Aku menjawab: semoga…
*****
Jakarta, 1 Oktober 2010
Untuk D di kota T
Selasa, 09 November 2010
Obral Aset Negara di Tengah Bencana
Akhir-akhir ini perhatian dan keprihatinan kita tercurah pada bencana alam yang diderita rakyat Indonesia di berbagai tempat, antara lain, bajir dan longsor di Wasior, tsunami di kepulauan Mentawai, dan lutusan gunung Merapi yang berdampak luas di DIY dan Jawa Tengah. Perhatian dan keprihatinan ini sangat wajar mengingat selain terjadi pada waktu yang relatif bersamaan atau beruntun, kita dihadapkan pada kondisi-kondisi masyarakat pengungsi yang tidak terlayani secara baik oleh pemerintah sebagai penanggungjawab utama dalam memenuhi segala kebutuhan pengungsi, dan tidak ada antisipasi yang memadai terhadap potensi-potensi bencana.
Pada situasi itulah, ketika hati, tenaga, dan pikiran kita memberat pada persoalan bencana, tiba-tiba tersajikan berita bahwa pemerintah telah menjual murah(obral) 20% saham PT. Krakatau Steel (KS), satu-satunya aset nasional pabrik baja. Jadi terdapat dua masalah di sini, yang pertama bersifat substansial yaitu penjualan itu sendiri, dan kedua bersifat lebih ‘teknis’ sehubungan sinyalir bahwa harga jual saham yang sangat murah tersebut merupakan hasil kongkalikong pihak-pihak di sekitar lingkaran kekuasaan. Belum habis keterkejutan pada satu kasus tersebut, pemerintah kembali mengumumkan rencana penjualan sepuluh BUMN lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan pabrik gula milik PT. Perkebunan Nusantara.
Menjual aset-aset milik negara (milik rakyat) saat perhatian rakyat tertuju pada bencana adalah wujud kelicikan pemerintahan berkuasa SBY-Boediono melalui Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar. Tindakan ini tak ubahnya penjaga rumah yang melego isi-isi rumah ketika pemiliknya sedang tertimpa musibah. Apalagi penjualan tersebut tidak menghasilkan keuntungan apa-apa bagi yang empunya, sebaliknya kehancuran-kehancuran ekonomilah yang akan diterima.
Tak pelak lagi, penjualan aset ini merupakan bukti tambahan yang mempertegas orientasi neoliberal yang dipilih pemerintahan SBY-Boediono. Sejumlah argumentasi kuno sebagai alasan privatisasi kembali menggema dalam proses ini, seperti tuntutan manajemen perusahaan yang terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, atau kondisi perusahaan-perusahaan yang merugi. Kita tahu bahwa argumentasi tersebut tidak berdasar, karena solusi terhadap masalah akuntabilitas dan kondisi perusahaan yang merugi bukanlah dengan menjualnya, melainkan dengan memberikan dukungan agar aset negara yang ada menjadi kuat, baik dengan merombak manajemennya maupun dengan dukungan kebijakan ekonomi secara menyeluruh. Alasan ini hanya akan mempermudah privatisasi terhadap seluruh aset nasional yang ada karena kondisi-kondisinya yang payah setelah dikuras oleh kebijakan neoliberal itu sendiri. Sejalan itu berkembang pula perdebatan tentang “harga jual” yang sesungguhnya telah keluar dari substansi “penjualan aset” sebagai tindakan yang salah.
Seluruh aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya, seperti sudah sering dikemukakan, adalah milik 230 juta rakyat Indonesia. Lebih jauh, dengan menyadari kepemilikan oleh rakyat, maka BUMN harus difungsikan untuk mendukung langkah-langkah memajukan perekonomian rakyat, khususnya langkah-langkah industrialisasi nasional. Persyaratan bagi berjalannya industrialisasi nasional antara lain tersedianya industri dasar termasuk di dalamnya industri baja dan industri gula. Produktivitas industri baja maupun gula nasional masih jauh dari mencukupi, atau masih dibutuhkan pembangunan industri sejenis lebih banyak lagi. Tentu saja ini hanya dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan persatuan nasional yang berkarakter mandiri. Karenanya, tanpa meninggalkan perhatian terhadap bencana alam yang terjadi di sekitar kita, kami berpendapat sudah waktunya kita bersatu untuk menuntut pemerintah menghentikan penjualan aset-aset negara.
Pada situasi itulah, ketika hati, tenaga, dan pikiran kita memberat pada persoalan bencana, tiba-tiba tersajikan berita bahwa pemerintah telah menjual murah(obral) 20% saham PT. Krakatau Steel (KS), satu-satunya aset nasional pabrik baja. Jadi terdapat dua masalah di sini, yang pertama bersifat substansial yaitu penjualan itu sendiri, dan kedua bersifat lebih ‘teknis’ sehubungan sinyalir bahwa harga jual saham yang sangat murah tersebut merupakan hasil kongkalikong pihak-pihak di sekitar lingkaran kekuasaan. Belum habis keterkejutan pada satu kasus tersebut, pemerintah kembali mengumumkan rencana penjualan sepuluh BUMN lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan pabrik gula milik PT. Perkebunan Nusantara.
Menjual aset-aset milik negara (milik rakyat) saat perhatian rakyat tertuju pada bencana adalah wujud kelicikan pemerintahan berkuasa SBY-Boediono melalui Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar. Tindakan ini tak ubahnya penjaga rumah yang melego isi-isi rumah ketika pemiliknya sedang tertimpa musibah. Apalagi penjualan tersebut tidak menghasilkan keuntungan apa-apa bagi yang empunya, sebaliknya kehancuran-kehancuran ekonomilah yang akan diterima.
Tak pelak lagi, penjualan aset ini merupakan bukti tambahan yang mempertegas orientasi neoliberal yang dipilih pemerintahan SBY-Boediono. Sejumlah argumentasi kuno sebagai alasan privatisasi kembali menggema dalam proses ini, seperti tuntutan manajemen perusahaan yang terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, atau kondisi perusahaan-perusahaan yang merugi. Kita tahu bahwa argumentasi tersebut tidak berdasar, karena solusi terhadap masalah akuntabilitas dan kondisi perusahaan yang merugi bukanlah dengan menjualnya, melainkan dengan memberikan dukungan agar aset negara yang ada menjadi kuat, baik dengan merombak manajemennya maupun dengan dukungan kebijakan ekonomi secara menyeluruh. Alasan ini hanya akan mempermudah privatisasi terhadap seluruh aset nasional yang ada karena kondisi-kondisinya yang payah setelah dikuras oleh kebijakan neoliberal itu sendiri. Sejalan itu berkembang pula perdebatan tentang “harga jual” yang sesungguhnya telah keluar dari substansi “penjualan aset” sebagai tindakan yang salah.
Seluruh aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya, seperti sudah sering dikemukakan, adalah milik 230 juta rakyat Indonesia. Lebih jauh, dengan menyadari kepemilikan oleh rakyat, maka BUMN harus difungsikan untuk mendukung langkah-langkah memajukan perekonomian rakyat, khususnya langkah-langkah industrialisasi nasional. Persyaratan bagi berjalannya industrialisasi nasional antara lain tersedianya industri dasar termasuk di dalamnya industri baja dan industri gula. Produktivitas industri baja maupun gula nasional masih jauh dari mencukupi, atau masih dibutuhkan pembangunan industri sejenis lebih banyak lagi. Tentu saja ini hanya dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan persatuan nasional yang berkarakter mandiri. Karenanya, tanpa meninggalkan perhatian terhadap bencana alam yang terjadi di sekitar kita, kami berpendapat sudah waktunya kita bersatu untuk menuntut pemerintah menghentikan penjualan aset-aset negara.
Diskusi Seni Rupa: Ini Soal Revolusi, Soal Menuntaskan Kemerdekaan
JAKARTA: Dua pelukis revolusioner Indonesia, Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin, keduanya juga merupakan pendiri sanggar Bumi Tarung, mengatakan bahwa seni rupa harus mengabdi kepada rakyat dan Revolusi 1945 yang belum selesai.
Berbicara dalam diskusi ‘seni rupa hari ini”, yang digelar oleh panitia festival kemerdekaan 2010, siang tadi (4/8), baik Amrus maupun Misbach, menggaris-bawahi arti penting seni rupa yang harus melakukan pembelaan kepada rakyat, khususnya klas pekerja dan tani, dan mengajak mereka untuk berlawan.
Didaulat untuk berbicara pertama, Misbach menjelaskan, bahwa realisme sebagai aliran gaya pengucapan seni sudah diketahui sejak jaman Yunani Kuno, bahkan lukisan artefak di gua Almitra (Spanyol) sudah bisa dikategorikan karya realis, karena menggambarkan situasi perburuan saat itu.
Di Indonesia sendiri, menurut penjelasan Misbach, realisme sebagai alat perjuangan anti-kolonial sudah dirintis oleh Raden Saleh, yang ditandai pada dua karyanya yang terkenal; “penangkapan pahlawan Diponegoro” dan “Tarung Banteng Macan”.
Selanjutnya adalah kelahiran kelompok Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang secara terang-terangan dan gamblang mengambil bentuk realisme sosial, sebagai cara untuk menghasilkan karya yang mengabdi kepada pembebasan nasional, katanya.
Pada tahun 1950-an, setelah rakyat mengetahui bahwa revolusi Agustus belum selesai, para seniman saat itu menggunakan realisme revolusioner untuk membela kaum buruh dan tani dalam menghadapi penindasan feodalisme dan kapitalisme, ujar pelukis yang juga sesekali menulis ini.
Misbach juga menolak untuk disebutkan bahwa Sanggar Bumi Tarung ataupun Lekra merupakan garda depan realisme sosialis. Menurutnya, karena kesenian merupakan kaca pembesar untuk menggambarkan keadaan suatu jaman, maka keberadaan kesenian di Indonesia belum bisa dikatakan realisme sosialisme karena belum ada susunan masyarakat sosialistik.
“AS Dharta dan Pramoedya itu, ketika menulis soal realisme sosialis, itu hanya mencoba memberi pengetahuan dan dan perbandingan semata-mata,” ujarnya untuk sekedar mengingatkan.
Setelah orde baru berkuasa dan menggusur lekra dan karya-karyanya, Misbach menjelaskan, seni yang berkembang di Indonesia adalah kebanyakan berbentuk seni abstrak, yang kemudian sekarang ini sering disebut seni rupa kontemporer.
Realisme kembali mengalami kebangkitan saat munculnya karya-karya yang mulai melontarkan kritik terhadap rejim Soeharto, kata Misbach, sambil mengutip kelahiran realisme jogja, dan dipertegas lain dengan kemunculan Semsar Siahaan dan Taring Padi yang mulai mengangkat kembali realisme.
Sekarang ini, Misbach mencatat pula bahwa realisme semakin mendapat tempat di kalangan seniman, namun isinya lebih banyak berisikan tema-tema absurd, penuh misteri, dan pelecehan atau plesetan terhadap tokoh-tokoh revolusioner dunia.
Sejak Andi Warhol dan kawan-kawan menemukan pop-art, suatu aliran yang berbasiskan kepada realisme fotografis, maka realisme pun berkembang sangat luas tapi kebanyakan dikembangkan untuk kepentingan iklan bisnis dan propaganda kapitalisme, demikian penjelasan Misbach Tamrin.
Sementara itu, pelukis Amrus Natalsya lebih menyoroti soal persoalan-persoalan Indonesia kekinian, yang menurutnya, sedikit banyak mempengaruhi perkembangan karya seni rupa saat ini.
Berpatokan kepada peringatan HUT kemerdekaan, Amrus menjelaskan, kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari siapapun, sangat berbeda dengan, misalnya, Malaysia dan Singapura.
“saat proklamasi, ketika itu saya sudah berusia 12 tahun, saya faham betul ada semangat kaum terjajah untuk mengakhiri situasi keterjajahan itu. Hasrat untuk merdeka dan menjadi tuan di negeri sendiri melahirkan watak anti-penjajahan dan berpartisipasi aktif dalam perjuangan anti-kolonial,” ujarnya.
Terkait perkembangan seni rupa saat ini, Amrus menandai lahirnya sebuah ‘permainan’ yang sepenuhnya dikendalikan oleh kapitalis. “jadi, meskipun karya-karya itu melecehkan tokoh revolusioner seperti Mao Tse Tung, atau melecehkan tokoh pembebasan nasional seperti Bung Karno, itu tak jadi soal bagi mereka. Asalkan mendatangkan untung,’ kata Amrus mencontohkan.
Sehingga, menurut penjelasan dia, penghancuran karakter suatu bangsa sekarang ini tidak lagi sekedar melalui film-film cabul, tetapi karya seni rupa yang “nyeleneh” pun sudah mendidik orang untuk melecehkan bangsanya sendiri.
“Ada seniman yang tidak segan-segan melecehkan Bung Karno dalam karyanya, tanpa menyadari bahwa, tanpa kehadiran dan perjuangan tokoh-tokoh pembebasan di masa lalu, maka tidak ada kemerdekaan sekarang ini,” tegas pelukis yang karyanya pernah dikoleksi oleh Bung Karno ini.
Amrus juga menyatakan keprihatinan terhadap situasi sekarang ini, dimana aparatus negara berperan untuk menindas rakyatnya sendiri, misalnya dalam kasus kekerasan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). “Satpol PP itu bukan tujuan revolusi, karena revolusi itu mau menghilangkan penindasan terhadap rakyat sendiri. Rakyat tidak menjadi tuan di rumah sendiri,” ujarnya.
Untuk itu, Amrus mengajak para pemuda untuk merenungkan perkataan Nyoto, “tahu segala sesuatu, dan tahu sesuatu tentang segala.” Umpamanya, kalau kita tahu tentang revolusi, kita tahu sejarah soal revolusi itu. Kalau tahu segala tentang revolusi, maka kita harus tahu soal revolusi itu sendiri. Fikiran ini berlaku untuk segala hal, termasuk soal pengetahuan dan bidang-bidang lainnya.
kita sedang dalam era yang betul bebas, kata Amrus, sambil menandai suatu suatu era dimana kebebasan itu benar-benar tanpa koridor. “Anda kalau punya “duit”, bisa mencetak buku dan menulis sebebas-bebasnya. Anda bebas untuk melecehkan bangsa sendiri atau memujinya. Asalkan bisa laku,” katanya, sambil menandaskan bahwa seni rupa juga mengalami situasi demikian.
Amrus menjelaskan, sekarang ini tidak ada partai politik yang kuat dalam lapangan kebudayaan, punya pemikir-pemikir soal kebudayaan, yang bisa menjaga dan memperjuangkan kebudayaan nasional.
Di saat penghancuran karakter nasional sekarang ini, Amrus menandai sebuah fenomena baru di masyarakat kita, yaitu “masyarakat happy”, yang merubah mental individu dan tanggung jawab kita.
“Ibaratnya, kita berjalan di pinggir jurang. Di bawah itu dunia jurang “happy”, sedangkan di atas jurang penderitaan rakyat. Jurang penderitaan rakyat itu sudah penuh sesak. Tetapi jurang “happy” ini masih terbuka, dan menjadi dominan di dalam segala lini kehidupan rakyat kita,” ujar Amrus Natalsya, sambil mencontohkan fenomena “keong racun”.
Dalam masyarakat “happy” ini, tidak ada lagi arti penting untuk berjuang, melakukan pemihakan terhadap kelas buruh dan tani. Inilah hal-hal yang membunuh jiwa dan karakter nasional kita.
Ditanyakan soal kontemporer revolusioner, Amrus mengatakan, bahwa seni rupa dunia sedang berada di dalam “kontemporer”, tanpa mempedulikan negara itu menganut sistim kapitalisme dan sosialisme.
Menjawab pertanyaan soal “kontemporer-revolusioner”, Amrus mengibaratkan, ketika kita sedang menaiki perahu. Kita memegang dayung. Dayung itu saya sebut revolusioner. Sedangkan perahunya, bisa kontemporer atau realisme. Semua perahu sekarang ini adalah kontemporer. Tapi, kita tetap harus membawa dayung yang revolusioner itu. Jangan ditinggalkan,” katanya.
Amrus menambahkan, bahwa dalam kontemporer revolusioner itu, maka persoalan-persoalan itu digambarkan lebih sederhana, mendalam, dan kuat. Inilah yang membedakan kontemporer revolusioner dengan yang lainnya.
Ketiga prinsip kontempor revolusioner itu, katanya, harus didasarkan kepada beberapa hal, yaitu originalitas, kreatifitas, dan ilmiah.
Di tengah berbagai persoalan bangsa saat ini, Amrus mengatakan, “ kita harus bangkit. Dan bangkit itu haruslah dengan politik. Politik yang memimpin gerakan rakyat.”
Menutup diskusi ini, Amrus seolah memberi kita dua pilihan; apakah kita masih mau meneruskan revolusi yang belum selesai, dalam hal ini revolusi Agustus 1945? ataukah kita sudah berhenti dan memilih masyarakat “happy”.
FX Harsono: Pemerintah Tidak Memperhatikan Persoalan Kebudayaan
JAKARTA: Perupa Indonesia kenamaan, FX Harsono, menilai, pemerintah kurang memperhatikan kebudayaan dalam orientasi pembangunan di Indonesia, sehingga banyak sekali proses pembangunan yang tidak sesuai atau kurang peka dengan tuntutan masyarakat.
Demikian dikatakan FX Harsono saat menjadi pembicara dalam diskusi berjudul “National and Character Building”, di Jakarta, Sabtu (21/8). Dengan panjang lebar, FX Harsono menguraikan persoalan-persoalan kebudayaan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.
Harsono mengatakan, segera setelah Bung Karno digantikan oleh rejim Soeharto dan gagasan-gagasannya juga turut dihapus, maka kebudayaan pun mulai dihilangkan dalam pembicaraan strategi pembangunan.
Sekarang ini, menurutnya, pemerintah sendiri mengartikan kebudayaan secara salah. “Kebudayaan sekedar dilihat sebagai ritual dan kesenian. Di sini, anggapan pemerintah soal kebudayaan hanyalah upacara-upacara dan ritual, sementara sektor kehidupan yang lain, misalnya sikap dan perilaku, dianggap bukan soal kebudayaan.
Akibatnya, Harsono menjelaskan, kebudayaan diletakkandi bawah departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dimana kebudayaan dianggap sebagai komoditi yang dapat memicu tumbuhnya pariwisata.
Lebih jauh, Harsono mengatakan, banyak sekali konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh hilangnya pemahaman soal kebudayaan.
Dalam pembangunan, sebagai missal proses industrialisasi, pemerintah tidak menempatkan manusia sebagai bagian dari penciptaan industri itu sendiri. Akibatnya, banyak sekali proses industrialisasi yang mengorbankan kemanusiaan, demikian dikatakan Harsono.
Dia mencontohkan, ketika pemerintah memutuskan konversi gas, sementara kebudayaan masyarakat memahami bahwa setiap bahan bakar pasti memiliki bau, sehingga banyak sekali kasus ledakan gas dipicu oleh ketidaktahuan masyarakat.
“Itu salah pemerintah. Dia tidak mengetahui budaya memasak masyarakat, tata cara berfikir mereka soal penggunaan energi bahan bakar,” katanya.
Harsono pun berbicara soal gerakan renaissance (bahasa Perancis, renaisans) di eropa dan hubungannya dengan perjuangan kebudayaan. Menurutnya, ada tiga ciri dari gerakan renaissance itu: pertama, penghargaan terhadap manusia atau kemanusiaan. Kedua, penghargaan terhadap kesenian. Ketiga, penghargaan terhadap keragaman beragama.
Di Indonesia, kata Harsono, tidak ada penghargaan terhadap kemanusiaan, sambil mengambil contoh pada cara pemerintah memperlakukan orang-orang miskin.
Demikian pula dengan kesenian, yang menurut Harsono, sama sekali luput dari perhatian pemerintah saat ini. “kesenian kita tumbuh dan berkembang sendiri, selama bertahun-tahun, tanpa dukungan pemerintah,” ujarnya.
Persoalan serupa juga muncul saat agama dilepaskan dari persoalan kebudayaan, dan kemudian dimasukkan ke ranah politik, maka agama sekedar menjadi alat untuk pertarungan kekuasaan dan mempertahankan kekausaan, katanya.
“Dulu, ketika agama masih melekat pada kebudayaan, masyarakat kita hidup sangat rukun dan damai,” katanya.
Di bidang pendidikan juga begitu, dimana proses pendidikan dipisahkan dari persoalan budi pekerti dan keadaan sosial di sekitarnya. “Kita punya agama dan moral pancasila, itu bisa menjadi unsur budi pekerti dari pendidikan,” tegasnya.
FX Harsono memperingatkan bahwa dunia sekarang sudah berubah, dan perubahannya sangat cepat sekali. Karenanya, kaum muda dan pekerja budaya menghadapi situasi yang benar-benar berbeda dengan masa-masa sebelumnya, khususnya dalam perkembangan teknologi informasi.
Sekarang ini, FX Harsono menandai perkembangan baru dalam seni rupa Indonesia, khususnya seni rupa kontemporer, yaitu perubahan dari modern ke post-modern, dimana dalam dunia post modern tidak ada lagi orientasi atau kiblat dalam berkesenian.
Secara pribadi, FX Harsono menganjurkan agar pekerja seni tetap terbuka, tidak berprasangka, tetap kritis terhadap persoalan, dan menghilangkan segala “rintangan” yang menghalangi pandangan mereka dalam berkarya.
SBY, Bapak Privatisasi Indonesia
Era pemerintahan Bung Karno pantas disebut sebagai “peletak dasar industrialisasi nasional”. Pada masanya, sekitar 90% perusahaan perkebunan asing berpindah ke tangan Republik Indonesia, dan sekitar 246 pabrik atau perusahaan asing berhasil dinasionalisasi.
Tidak hanya itu, Soekarno telah membangun sejumlah industri di dalam negeri, yaitu pabrik Baja Trikora pada 1962-kini bernama PT Krakatau Steel-dan Semen Gresik pada 1953.
Sayang sekali, setelah rejim Soeharto berkuasa, perusahaan-perusahaan itu bukannya dikembangkan dengan baik, malah dijadikan lahan korupsi bagi keluarga dan kroninya. Dengan argumen hendak membersihkan korupsi dan kesalahan manajemen di dalam BUMN, rejim-rejim neoliberal pasca reformasi telah mengobral murah keseluruhan perusahaan-perusahaan tersebut.
Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN, namun yang terprivatisasi ada 12 BUMN. Sementara di jaman SBY, dalam setahun terdapat 44 BUMN yang langsung “dilego” kepada pihak asing. Dengan agresifitasnya dalam mengobral “BUMN”, SBY pantas disebut sebagai bapak privatisasi Indonesia.
Namun, fakta menunjukkan bahwa privatisasi tidaklah semulia apa yang dikatakan ekonom neoliberal, yaitu perbaikan manajemen, efisiensi, dan perbaikan produksi. Sebaliknya, privatisasi hanya menjadi mekanisme transfer kekayaan dari tangan publik kepada segelintir swasta, juga sebagai skema penghancuran ekonomi nasional yang potensial oleh negeri-negeri imperialis.
Lebih jauh lagi, kebijakan privatisasi punya motif dan tujuan yang selaras dengan misi kolonialisme di masa lalu.
Pertama, privatisasi menghilangkan kontrol atau monopoli negara terhadap produksi barang dan jasa, sehingga nantinya akan semakin bergantung kepada impor dan produk dari luar. Pemerintah akan kesulitan untuk mengontrol harga, terutama harga kebutuhan pokok, karena cabang-cabang produksi sudah dikuasai oleh pihak asing.
Kedua, privatisasi menghilangkan akumulasi ekonomi nasional yang menguntungkan, khususnya pendapatan dari aktivitas BUMN. Akibatnya, negara semakin bergantung kepada pajak dan utang.
Ketiga, negara kehilangan tuas strategisnya untuk mengalihkan penghasilannya ke sektor-sektor ekonomi dan belanja sosial, mengatur penciptaan lapangan kerja, dan pembukaan wilayah-wilayah investasi baru, seperti infrastruktur, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
keempat, privatisasi justru akan menjadi lahan subur untuk korupsi dan suap, yang melibatkan segelintir miliarder dari perusahaan multi-nasional dan para politisi korup pendukung privatisasi.
Disamping itu, harga jual perusahaan-perusahaan nasional yang diprivatisasi seringkali merupakan “harga politik”, bukan harga yang ditentukan menurut potensi pasarnya. Harga politik ini dimaksudkan untuk menyuap rejim berkuasa, partai politik pendukung privatisasi, dan ekonom-ekonom yang menjadi juru-bicaranya.
Harga politik inilah yang terjadi dalam kasus “obral murah” PT. Krakatau Steel oleh rejim SBY-Budiono. Meskipun negara jelas-jelas dirugikan, namun mereka selalu berusaha bersembunyi dibalik argumen dangkal dan irasional.
Jangan berharap cerita sukses terkait privatisasi, pengalaman privatisasi di berbagai belahan dunia justru menceritakan kenyataan pahit, seperti PHK massal, penurupan upah, kenaikan harga kebutuhan masyarakat secara drastis, pembengkakan utang luar negeri, terbengkalainya infrastruktur dan layanan publik, dan lain sebagainya.
Janji-janji mengenai efisiensi, peningkatan produksi, alih teknologi, dan perbaikan manajemen hanya merupakan “tiupan angin surga”. Pada kenyataannya, privatisasi akan mempercepat kerapuhan ekonomi nasional, terutama jika pembelinya adalah perusahaan multinasional. Keputusan-keputusan tentang lokasi pabrik, tingkat investasi dan pekerjaan, akan tunduk pada strategi-strategi global para direktur perusahaan multinasional.
Pendek kata, apa yang menjadi tujuan kolonialisme di masa lalu, adalah juga tujuan utama privatisasi, yaitu menjadikan Indonesia sebagai sumber penyedia bahan baku, pasar bagi produk negeri-negeri maju, eksploitasi tenaga kerja, dan tempat mengembang-biakkan capital negeri maju (investasi).
Jika di saat pemilihan SBY menolak disebut neoliberal, maka penjualan Krakatau Steel sekarang merupakan bukti bahwa SBY memang “neoliberalis tulen”.
Kita tidak harus menunggu lama hingga seluruh asset nasional kita diobral sampai habis oleh SBY, sebab jika itu dibiarkan terus-menerus, bukan generasi sekarang saja yang akan tertimpuk kemiskinan dan kesengsaraan, tetapi generasi masa di masa depan pun akan kehilangan harapan.
Oleh karena itu, mari bersama-sama membangun gerakan anti-privatisasi secara massif untuk menghentikan privatisasi BUMN ini. Salah satu caranya, adalah menggalang petisi atau konsultasi rakyat, yaitu mendatangi rakyat dari rumah ke rumah, untuk meminta dukungan menolak privatisasi.
Obama Dan Imperialisme AS
Setelah dua kali membatalkan kunjungannya, Barack Obama hampir dipastikan akan berkunjung ke Indonesia pada 9 November besok. Namun, Obama yang datang kali ini bukanlah anak menteng yang sederhana itu, melainkan Presiden dari negeri imperialis terbesar: Amerika Serikat.
Obama memang sangat fenomenal. Selain menjadi kulit hitam pertama yang menjadi presiden di negeri yang sangat rasial, Obama juga berhasil menciptakan “janji surga” untuk mengeluarkan rakyat amerika serikat dari krisis ekonomi dan kebijakan perang di berbagai belahan dunia.
Terhadap dunia ketiga, terutama terhadap halaman belakangnya—amerika latin—dan negeri-negeri islam, Obama menjanjikan penataan ulang bentuk hubungan yang lebih baik dan egaliter.
Sayang sekali, sejak dilantik awal Januari 2009 hingga sekarang ini, Obama telah gagal memenuhi janji-janji itu. Pengangguran misalnya, isu yang paling sensitif dalam pemilu kemarin, telah meningkat menjadi 9,5% pada bulan Juni-Juli tahun ini. Angka kemiskinan juga telah meningkat, yaitu 40 juta orang, yang berarti satu dari tujuh orang masuk dalam kategori ini, dan merupakan angka tertinggi dalam 51 tahun terakhir.
Kesalahan terbesar Obama, mengutip pendapat pemenang Nobel Joseph Stiglitz, adalah terlalu pelit dalam mengeluarkan paket stimulus untuk mendorong ekonomi real dan tidak dirancang dengan baik. Obama juga masih mewarisi Bush, yaitu dengan terus-menerus menyantuni bankir-bankir super-kaya di Wall Street dan mempertahankan keistimewaan mereka.
Maklum, seperti dikatakan Michael Chossudovsky, pemerintahan Obama sangat dikendalikan oleh elit dan korporat perbankan. Mereka-lah yang sangat menentukan komposisi Kabinet Obama.
Terhadap dunia ketiga, khususnya Amerika Latin, Obama tidak memperlihatkan perbedaan jelas dengan Bush. Obama tidak bisa menghapus jejak kaki amerika dalam upaya destabilisasi (penggulingan) rejim kiri di Amerika latin, seperti kasus Manuel Zelaya di Honduras dan Rafael Correa di Ekuador baru-baru ini.
Obama juga tidak serius memenuhi janjinya mengakhiri invasi sangat keji di Irak dan Afghanistan. Bahkan, kini Obama mempersiapkan perang baru untuk mencaplok Iran. Obama juga tidak tegas untuk menekan Israel guna mengakhiri blockade terhadap Gaza dan menghentikan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina.
Meskipun begitu, bukan berarti bahwa Partai Republik telah menjadi pahlawan, apalagi memenangkan pemilu 2 November lalu. Partai Rebublik, yang didalamnya tergabung gerakan fasis “Tea Party, adalah jauh lebih buruk dan reaksioner dari Partai demokrat. Tapi apa boleh buat, sistim two-party system telah memaksa rakyat Amerika untuk “memilih yang terbaik dari yang terburuk”.
Lantas, apa kepentingan “bekas anak menteng” ini di Indonesia? Sejak revolusi agustus 1945 hingga sekarang ini, AS tetap memandang Indonesia sebagai “permata asia” yang tidak bisa dilepaskan kepada siapapun.
Ada beberapa kepentingan Imperialisme AS terhadap Indonesia: pertama, Indonesia merupakan sekutu paling penting AS untuk mempertahankan peran hegemoniknya di Asia tenggara dan mengisolasi “perkembangan tak diinginkan” atas Tiongkok di kawasan Asia Timur.
Kedua, Peran hegemonik AS di Asia tenggara juga penting untuk memastikan atau mengamankan kontrolnya terhadap jalur-jalur perdagangan (selat malaka, sunda, Lombok, Makassar, dan laut Cina selatan—jalur perdagangan sangat penting di dunia).
Ketiga, menjaga kepentingan perdagangan dan investasi, mengingat bahwa Indonesia merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya, tenaga kerja, dan potensi pasar yang sangat besar. Ingat! Exxon Mobile, salah satu perusahaan yang sudah cukup lama menguras minyak bumi Indonesia, adalah juga donatur Obama.
Terkait komitmen Obama mengenai penyelesaian masalah HAM di Indonesia, inipun harus diuji kebenarannya. Pasalnya, sejak bulan juli lalu, Menteri Pertahanan Amerika Robert Gates secara resmi telah mengukuhkan normalisasi hubungan militer dua negara melalui kunjungan diam-diam di Jakarta.
Obama juga harus meminta maaf atas nama bangsanya terkait keterlibatan AS dalam penggulingan pemerintahan Bung Karno dan pembantaian massal jutaan orang setelahnya. Obama juga harus meminta maaf atas dukungan militer AS terhadap rejim Soeharto selama puluhan tahun, dimana senjata-senjata itu telah dipergunakan militer Indonesia untuk menghancurkan gerakan rakyat, menghancurkan gerakan perlawanan di Papua dan Aceh, dan melakukan invasi keji di Timor Leste.
Dan, apa yang tidak bisa dilupakan, AS punya dosa besar dalam praktik imperialisme selama puluhan tahun di Indonesia, yang sekarang ini mengambil bentuk kebijakan neoliberalisme. Neoliberalisme telah menjadi “senjata pemusnah massal” yang sangat mengerikan: ratusan juta rakyat Indonesia terperosok dalam kemiskinan, ancaman PHK massal, putus sekolah, biaya kesehatan yang sangat mahal, dan lain sebagainya.
Hentikan Privatisasi Krakatau Steel!
Pada masa Bung Karno, sebagai dasar untuk membangun ekonomi dalam negeri yang kuat dan mandiri, maka berdirilah pabrik Baja Trikora pada 1962, lalu berubah nama menjadi PT Krakatau Steel.
Meski cita-cita Bung Karno tidak pernah dilanjutkan oleh rejim-rejim sesudahnya, namun PT. Krakatau Steel tetap memiliki kapasitas produksi mencapai 2,5 juta ton per tahun dan merupakan industri baja terpadu terbesar di Asia Tenggara.
PT Krakatau Steel memiliki enam pabrik berbasis baja, yaitu: Pabrik Besi Pons, Pabrik Billet Baja, Pabrik Batang Kawat, Pabrik Slab Baja, Pabrik Pengerolan Baja Canai Panas (HSM), dan Pabrik Pengerolan Baja Canai Dingin (CRM).
Dalam ekonomi nasional, PT. Krakatau Steel memegang peranan yang menentukan, yaitu memegang 60% kebutuhan baja nasional dan menjadi basis untuk kepentingan industrialisasi di dalam negeri. Hampir 95% peralatan logam yang dipergunakan manusia berasal dari baja, sehingga industry baja sangat penting bagi perekonomian suatu bangsa.
Sayang seribu sayang, potensi besar dan peran strategis PT.Krakatau Steel hendak dikubur selamanya oleh rejim SBY-Budiono dengan rencana privatisasi terhadap perusahaan baja nasional ini. Rencana ini sudah tercetus sejak tahun 2008, ketika SBY berniat mengobral 44 BUMN Indonesia kepada asing, yang mana PT. Krakatau Steel masuk di dalamnya.
Untuk menjalankan ambisi privatisasi ini, pemerintah telah memilih opsi penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham PT Krakatau Steel. Dan, entah bodoh atau disengaja, kementerian BUMN sudah menetapkan harga penjualan saham Krakatau Steel sebesar Rp850 per lembar. Sebuah harga penawaran, yang mengutip ekonom Drajat Wibowo, “sangat kebangetan” dan berpotensi merugikan negara trilyunan rupiah.
Dengan begitu, PT. Krakatau Steel yang dibangun dengan bersusah payah semasa Bung Karno, telah dijual dengan enteng dan dengan harga sangat murah alias obral kepada pihak asing. Inilah watak neoliberal pemerintahan sekarang ini.
Privatisasi merupakan pengambil-alihan swasta terhadap kekayaan kolektif dan kepemilikan publik, termasuk simpanan publik, tanah, mineral, hutan, dana pensiun. Ini merupakan bagian dari strategi imperial untuk menghancurkan kapasitas produktif nasional dan menguasainya.
Padahal, mengingat posisi strategis Krakatau Steel untuk kepentingan nasional, maka perusahaan baja ini tidak boleh dijual. Apalagi, seperti dikatakan Drajat Wibowo, politisi asal PAN, kinerja keuangan Krakatau juga tak buruk-buruk amat. Pada semester I 2010, produsen baja yang berpusat di Cilegon Banten ini mampu meraup laba bersih hampir Rp1 triliun.
Alih-alih bisa menciptakan kompetensi manajemen, kemampuan mencipta, daya saing produk, optimalisasi utilitas aset negara, dan kesejahteraan masyarakat, privatisasi justru menciptakan pemecatan massif (PHK), penutupan industry, mengasingkan masyarakat, dan sarang korupsi. Sebaliknya, di negara-negara yang memperkuat peran BUMN-nya seperti Tiongkok, perekonomian mereka cukup kebal terhadap serangan krisis ekonomi global.
Jika diperiksa lebih jauh, penyebab kemunduran Krakatau Steel ada di kesalahan kebijakan pemerintahan SBY. Pertama, Krakatau Steel mengalami kekurangan pasokan bahan baku, seperti bijih besi, bijih mangan, bijih chrom, bijih nikel, kapur dan dolomit. Keseluruhan bahan baku itu dapat disediakan oleh alam Indonesia, namun pemerintahan SBY-lah yang mengekspornya dengan harga sangat murah ke luar negeri.
Kedua, produksi Krakatau Steel terkendala oleh kurangnya pasokan energy, khususnya listrik, sehingga industri baja tidak bisa beroperasi secara maksimal. Sayang sekali, lagi-lagi SBY membuat kesalahan ketika mengekspor murah batu bara Indonesia ke luar negeri.
Ketiga, kurangnya pengembangan industri bahan baku baja di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Kita tidak dapat menyandarkan penguatan ekonomi dan pengembangan industry nasional kepada rejim yang abai terhadap kepentingan nasional, yaitu rejim SBY-Budiono yang neoliberal. Hanya dengan pemerintahan yang menjalankan Trisakti, seperti yang dicita-citakan Bung Karno, bangsa Indoensia bisa membangun industri nasional dan perekonomian yang kuat. Merdeka!
Langganan:
Komentar (Atom)
SEMAUN
Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra'jat Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai Maksoednja jaitoe HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA'JAT HINDIA (Semaoen, 24 Djoeli 1919)





