MEDIA PENDIDIKAN EKONOMI & POLITIK

Sabtu, 06 Februari 2010

Nasional Demokrat, Jawaban atau Taruhan?

Oleh: Gede Sandra*)

Senin (01/02/2010) kemarin, memanfaatkan momentum tingginya tensi politik nasional akibat lambannya penuntasan Skandal Century dan ancaman nyata CAFTA kedepan, Surya Paloh (SP) bersama sejumlah (44) tokoh negarawan, politisi, akademisi, dan budayawan yang selama ini berada pada garis oposisi pemerintahan SBY mendeklarasikan berdirinya sebuah ormas nasional yang bernama Nasional Demokrat, yang sering disingkat ND ataupun Nasdem. Disaksikan oleh sepuluhan ribu massa rakyat "bayaran" yang memadati gedung Istora Senayan Jakarta, SP sontak berhasil membuat seluruh pemirsa politik di Indonesia bertanya-tanya. Apakah ini jawaban, atau taruhan?

Jika adalah jawaban, maka kita sebaiknya lebih jeli menilai isi organisasi Nasdem. Di dalamnya ada ajaran Tri Sakti Bung Karno, ini mungkin yang membedakannya dari Demokrat yang "tidak nasionalis" pimpinan SBY. Berkumpulnya ke 45 (cat: angka 45 untuk mengingatkan ke sejarah kolektif bangsa tahun 1945) tokoh nasional intra dan ekstra parlemen berbalut jas biru laut, disaksikan para guru bangsa, memiliki daya tarik tersendiri bagi person-person politik yang sedang menjadi partisan ataupun non-partisan di dalam dan luar negeri. Orasi politik SP yang (hendak) menyerupai gaya berpidato Bung Karno dalam panggung yang dikemas layaknya rapat akbar, mau tidak mau akan mengembalikan ingatan kolektif akan kejayaan politik Indonesia di tahun pra Orde Baru. Memang bukan tanpa sebab juga MetroTV terus menyiarkan tayangan sejarah terbentuknya nasion Indonesia di samping berita politik aktual seputar oposisi. Hanya tinggal kita menunggu manuver konkret Nasdem ini mewujudkan front nasional yang sedang kita tunggu bersama.

Yang paling gerah atas manuver SP tentu tak lain adalah Presiden SBY. Di tengah pemerintahannya yang baru berusia 100 hari, di tengah kabinetnya yang sedang rapuh karena unsur Mafia Berkeley sedang dijadikan musuh bersama oleh gerakan politik mainstream, muncul tiba-tiba sebuah organisasi massa yang mirip penampilannya dengan partainya, Partai Demokrat. Bagi SBY, tentu ini adalah ancaman- siap-siap saja 70an juta pendukung (angka yang sering kubu Demokrat klaim) yang agak ideologis/nasionalis akan beralih ke Nasdem. Atau nanti malahan terbongkar sejatinya kepada publik, bahwa Demokrat memang tidak memiliki kader solid!? Karena itulah, maka untuk kali ini SBY harus diwanti-wanti agar tidak panik lagi di depan publik (jangan sampai seperti kasus kerbau). Kepanikan hanya akan menguntungkan eksistensi Nasdem. Maka, untuk menunjukkan "betapa santainya" kubu SBY, dibuatlah siaran televisi 60 Menit Bersama SBY yang disiarkan RCTI dari Istana Cipanas yang sejuk dan tenang.

Berbeda sekali jika kita hanya menilai Nasdem ini, yang lambangnya mirip MetroTV ini hanya taruhan terakhir (ada isu MetroTV terancam bangkrut seperti TPI) SP sebagai politisi sekaligus raja media. Setelah kalah besar, dihabisi oleh Ical di Munas Golkar tahun lalu, tentu SP berharap separuh atau kalau bisa seluruh modalnya dikembalikan SBY. Setelah itu semuanya akan adem ayem lan tenterem lagi seperti sedia kala. Apalagi jika kasak kusuk Century Gate melunak dan kemudian menghilang, sementara penderitaan nyata rakyat akibat CAFTA terus bertambah panjang deretannya. Lagi-lagi kuldesak politik Indonesia terbentur pada ujung dinding transaksional.

Namun, siapa juga yang tahu kalau SP bertaruh lebih besar lagi dengan kekuatan Cina? Only Heaven knows.

*) Pengurus DPP Papernas dan Anggota Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

Kaca Benggala: Sumpah Palapa

Oleh: Agus Jabo Priyono*)

JAKARTA, Berdikari Online: Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tlah menggumpal hitam, sebentar lagi badai pasti datang. Terombang-ambing, dihempas, gulungan ombak yang ganas. Rombongan manusia besar, di geladak duduk berjajar, bingung, ada yang terpekur murung, yang lain memekik meraung-raung. Bahan makanan menipis, harta benda yang kita punya tiada lama lagi akan habis. Perompak, kapal kita penuh perompak. Berpesta pora, merampas segalanya, meludahi harga diri kita.

Bertekuk lutut nakhoda, dengan seluruh awak kapalnya, ketakutan, menyerah tanpa perlawanan.

Jika terus begini, lambat-laun kita akan musnah dan mati di tengah-tengah samudera ini. Mengubur semua kenangan indah yang pernah terukir di atas peta kehidupan. Terhapus bayang-bayang dalam cakrawala.

Bukalah mata! Amati mereka. Bergema detak jantung mereka. Resah, dalam bilik hatinya yang terkurung, akan menggumpal jadi amarah. Putus asa. Tiada lagi yang dipercaya. Juga diri mereka. Amuk, tinggal tunggu waktu saja.

Dalam keputusasaan, di lubuk hati terdalam, pastilah ada yang ingin memilih kabur, dengan sekoci memisahkan diri, mencari selamat sendiri-sendiri, meninggalkan saudara-saudaranya sendiri. Tapi itupun tiada guna. Ombak yang tak bermata itu pasti menghantam siapa saja. Tenggelam sebelum sampai di tujuan.

Perahu besar ini milik kita! Warisan leluhur kita. Tanggung jawab kita semua untuk menjaganya. Menghadapi ombak dan badai sehebat apapun, menghajar bajak laut penjarah dengan segala kekuatan yang terhimpun. Harapan, bangun terus harapan, pantang surut selamat hayat masih dikandung badan.

Kita keturunan armada Sriwijaya, yang memburu para perompak sampai ke sarangnya.

Tipu muslihat awal segalanya, sudah hafal kita dengan itu semua. VOC datang pura-pura berdagang. Ujungnya menjarah, akhirnya menjajah. Menerobos masuk, menundukkan harga diri kita, menurunkan panji-panji kebanggaan kita semua. Gerombolan seperti mereka hanya memburu, memburu dengan penuh nafsu, keuntungan, mereka memburu keuntungan. Jangan pernah percaya mulut manis mereka. Mereka adalah keturunan setan, dengan berbagai wujud, tanpa perikemanusiaan. Memberi hutang atau bantuan, akan tetapi mereka memiliki tujuan yang tersimpan. Penjarahan!

Tunduk dengan gerombolan perompak maupun maling, adalah kekalahan, asor, lembek seperti getuk busuk. Hanya akan menempatkan bangsa kita menjadi langganan, sasaran perampokan.

Itu perahu Nusantara, banyak harta bendanya, awaknya pengecut, nakhodanya seperti badut! Jarah, rampok, perkosa, buang ke laut siapa saja yang menghalanginya. Itulah semboyan mereka.

Perahu Nusantara, dikuasi perompak banyak malingnya.

Jangan pernah takut, nenek moyang kita pelaut. Penguasa laut, raja laut, ratu laut, para pelindung kita. Bertempurlah seperti armada Sriwijaya. Kita semua Lembu Peteng! Bapak kita para Dewa. Ken Arok, kitalah Ken Arok, Modo, Joko Modo, Gajah Mada, kitalah Gajah Mada. Setia kepada Sumpah Palapa!

Jasmerah! Dulu, saat kita merdeka hanya tiga hal yang kita miliki: bendera merah putih, lagu Indonesia Raya dan kobaran api semangat menggelora dalam dada untuk merdeka. Hanya itu modal kita! Milik kita, tapi kita merdeka.

Hanya dengan kain dan lagu, kita merdeka, bangkit membangun bangsa.

Jalan panjang kehidupan generasi sebelum kita sudah penuh. Penuh catatan, penuh cerita, lengkap pengalaman, suka maupun duka. Penuh! Penuh perjuangan, penuh pertentangan. Mestinya kita telah matang serta dewasa.

Kaca benggala, cermin sejarah bangsa kita. Sejarah perjalanan perahu besar, di tengah ombak, di tengah lautan. Abad VII, babad dimulai, tercatat dalam batu prasasti. Wangsa Syailendra rontok, akibat perang saudara, terpendam lumpur letusan Gunung Merapi. Sriwijaya dengan Pandaya serta raja lautan, rontok karena perang saudara. Majapahit dengan panji gula kelapa, merah putih, Bhineka Tunggal Ika, hilang, kertaning bumi, karena Paregreg dan serbuan laskar putih Gelagah Wangi, Demak Bintoro. Sultan Trenggono musnah, karena keponakan sendiri, Arya Penangsang putra Pangeran Seda Ing Lepen. Sultan Pajang, Hadiwijoyo, Joko Tingkir, Mas Karebet, cucu Brawijaya selesai, digulingkan anak angkatnya sendiri, Raden Ngabehi Loring Pasar putra kandung Ki Ageng Pamanahan, penasihat politik Kesultanan, cucu Ki Ageng Selo sahabat karib Kebo Kenongo ayah Hadiwijoyo.

Kita lahir dari Sriwijaya dan Majapahit. Generasi pertama, dengan semangat serta cita-citanya mempersatukan kita sebagai manusia yang merasa senasib untuk hidup bersama. Di bumi kepulauan, diantara dua benua yang menghimpit kita. Dipantara, kepulauan diantara dua benua.

Sunda Kelapa, Batavia, Jayakarta, Jakarta, Jogyakarta kembali ke Jakarta. Leluhur kita perang dengan Kompeni, pedagang berseragam tentara, meletuskan meriam, menembakkan senjata. Nusantara terbakar, membara, membakar angkasa.

Mereka generasi kedua. Dipandu katulistiwa, bertempur untuk membebaskan tanah leluhur kita, manusia yang mendiaminya. Berperang demi bangsa, seperti bersetubuh menciptakan bayi bangsa kita.

Kaca benggla! Ratu Shima! Sumpah Palapa! Negara Kartagama! Sotasoma! Bineka Tunggal Ika!

Kegagahan, idealisme, petarung sejati, pantang berjiwa kerdil. Bukan hanya bangsa Amerika atau Eropa, kitapun memiliki sejarah besar! Jikapun Hitler sering membentak anak kecil yang menangis, jangan menangis wahai kamu keturunan ras Aria, karena kamu anak Jerman! Kitapun akan berteriak lantang, jangan mengemis dan bermental kuli wahai kamu, karena kamu anak Nusantara, bapakmu Matahari yang berputar di atas bumi kita, Ibumu samudera luas yang melindungi bumi kita. Kamu anak Indonesia, putra Nusantara!

Sanggrama Wijaya bersekutu dengan Arya Wiraraja serta tentara Mongolia, mengubur Jayakatwang penguasa Kediri. Menang menghancurkan Jayakatwang, kocar-kacir, tunggang langgang tentara Mongolia diusir laskar hutan. Hutan, pemberian Raja Kediri, banyak ditumbuhi pohon berbuah warna hijau berasa pahit, buah maja terasa pahit. Majapahit dibangun dengan keringat orang-orang Madura, pasukan Arya Wiraraja, Manggala Utama Singosari yang diusir oleh Kertanegara.

Majapahit yang baru berdiri, merdeka, sanggup mengusir tentara Mongol penguasa Asia Raya, dengan kekuatan serta tipu daya.

Berjuang ternyata banyak lika likunya, tapi yang jelas, jangan memperbanyak musuh akan tetapi perbanyaklah sekutu!

Perang saudara! Perang dengan musuh bangsa! Merebut tahta, memperjuangkan cita-cita serta harga diri. Kekuasaan, kedaulatan, tidak mungkin satu bangsa mampu mengatur rumah tangganya, tanpa kekuatan, tanpa kedaulatan. Untuk berdaulat haruslah kuat, kuat keyakinan, bulat keinginan. Tanpa ekonomi yang mandiri, tidak mungkin ada kekuatan serta kedaulatan apalagi kemakmuran. Tanpa kekuatan serta kedaulatan tidak mungkin membangun ekonomi.

Republik Rakyat Tiongkok dibangun di atas satu Partai Negara dan Tentara.

Sejarah kebangsaan, sejarah kedaulatan.

Perang!

Kita juga berperang melawan Belanda, Portugis, Jepang dan Inggris. Bambu runcing, golok,arit, tombak, keris, senjata api seadanya, kita sanggup menghadapi tentara Inggris di Surabaya. Dengan semangat, kekuatan, kepemimpinan yang gagah berani, kita berperang. Perang mempertahankan kemerdekaan dan harga diri. Perang demi selembar kain dan sebuah lagu. Perang untuk pembebasan Bangsa. Perang Ambarawa, Perang menduduki Jogyakarta, Bandung lautan api. Itu kaca benggala kita, kita bangsa yang berani, bukan bangsa pecundang.

Bung Tomo : "Hai tentara Inggris, kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu, kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu, tuntutan itu walaupun kita tahu, kau sekalian akan mengancam kita, untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita: Selama banteng-benteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga."

Sebelumnya, perang juga sudah berkecamuk, membakar bumi Nusantara. Perang melawan kelicikan organisasi dagang pemerintah Belanda,VOC, melawan Portugis. Perang Ternate, Perang Maluku, Perang Makasar, Perang Jawa, Perang Minangkabau, Perang Banten, Perang Aceh.

Apapu latar belakang serta kondisi pada waktu itu, sebelum ada KOGAM, KOTI tahun enam puluhan, mengganyang tangan imperialis Inggris di Malaka, Patiunus, Panglima Perang kerajaan Demak dengan angkatan lautnya tahun 1512, telah menyerang pendudukan Portugis di Malaka. Dilanjutkan oleh generasi berikutnya Sultan Agung, penguasa alas Mentaok Mataram, dengan pasukan kavaleri serta infantrinya tahun 1628 menyerang Batavia. Trunojoyo yang bersekutu dengan Kraeng Galesung dari Sulawesi melawan VOC dan agennya Sultan Amangkurat I dan Cakraningrat II, tahun 1674. Belum lagi Pangeran Samber Nyowo bersama Laskar Cina dari Kartosuro tahun1742 menyerang VOC yang didukung Pakubuwono II. Kaca benggala, sejarah perjuangan bangsa kita.

Diponegoro awal berperang karena membela harga diri anak bangsa leluhurnya, setelah toleransi terhadap keberadaan penjajahan Belanda dijawab dengan kesombongan serta kebrutalan. Penjajahan tidak perlu menghargai siapapun, jika hal itu tidak menguntungkan. Lepas, akhirnya Diponegoro berperang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Kolonial, walau awalnya hanya sebatas di daerah Tegalrejo.

Perlawanan Diponegoro bertemu dengan keresahan rakyat, kelaparan, ditindas menjadi budak-budak Kolonial.

Meletuslah perang Jawa, membangkrutkan Negara Kolonial, Hindia Belanda.

Perang lokal dengan cara lama ternyata tidaklah cukup untuk mengusir kekuasaan Kolonial. Perang modern harus segera dilakukan. Maka beberapa tahun berikutnya Samanhudi, pedagang pribumi, klas menengah sadar, bangkit, merebut kedaulatan serta harga diri. Pedagang batik dari Laweyan, Solo, mendirikan Sarikat Dagang Islam untuk melindungi kepentingan ekonomi pribumi, menghadapi pedagang Tionghoa. Kemudian membangun persatuan pedagang untuk menghadapi Kolonial Belanda. Muncullah Haji Oemar Sahid Tjokroaminoto, klas menengah yang sadar dari Surabaya, orator, guru dan mertua pertama dari Kusno, Sukarno. Ratu Adil telah menjelma di dunia.

Semaun yang tukang bikin teh dan kopi, bangkit menjadi tokoh pemuda Semarang, mengobarkan semangat api perlawanan. Organisasi! Organisasi, alat perang modern. Tanpa organisasi yang besar dan kuat tidak akan menang bereperang! Vergadering, boycott menjadi bentuk perjuangan rakyat melawan penindasan. Generasi ketiga, memimpin pergerakan, menyongsong kemerdekaan.

Kita tengok sebentar sejarah Negara Sakura. Negara samurai dan para ninja. Tidaklah berbeda jauh proses penyatuan nasionalnya dengan sejarah Dipantara. Perang saudara, penaklukan, perluasan, membangun bangsanya. Sebelum Jepang berdiri, Nobunaga dari Owari, Toyotomi Hediyosi, Iyasu juga berperang menaklukkan penguasa benteng-benteng di seluruh negeri Sakura. Jepang berdiri tegak, di sebelah Cina dan Korea, membangun singgasana, menobatkan diri menjadi raja Asia.

Cina juga begitu. Daratan yang luas, dikuasai para dinasti, serta raja perang, sampai Sun Yat Sen mendirikan Republik dengan tiga sendi kedaulatan rakyat Cina, San Min Chu I, Mintsu, Minchuan, Min Sheng : Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme. Republik Rakyat Cina lahir, hasil perjuangan kaum nasionalis melawan Raja Perang, Perang melawan Jepang, Perang saudara, sampai mereka merdeka 1 Oktober 1949.

Rakyat India juga berperang melawan Kolonialisme Inggris, dari perang fisik sampai perang modern, Gandi si kurus menjadi salah satu pendekar utamanya. Ahimsa, Satya Graha, Hartal, Swadesi. Tanpa kekerasan, tidak bekerja sama dengan Inggris, mogok sampai memboikot produk Inggris.

Dari perang saudara untuk membangun sebuah bangsa. Bertempur mempertahankan kebangsaannya. Kedaulatan bangsa, kemerdekaan bangsa, harus direbut. Bukan pemberian, buka karena belas kasihan. Penjajahan tidak mengenal belas kasihan.

Tahun 1932, di depan pengadialan Kolonial, Sukarno dengan lantang berseru :

"Kita menjadi negeri yang hidup dari bangsa lain, kita menjadi penyedia bahan mentah untuk mendukung kemajuan industri bangsa lain, kita menjadi pasar penjualan hasil industri bangsa lain dan bangsa kita hanya menjadi sasaran penghisapan perusahaan asing. Itulah wajah Indonesia, sejaka jaman kolonialisme Belanda sampai sekarang".

Penjajahan bukanlah kawan. Penjajah selalu membangun kekuatan untuk menghisap bangsa yang dijajah. Mereka adalah perompak, bajak laut yang akan menjarah dan merebut perahu kita beserta isinya, mengemudikan sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka bukanlah bangsa sahabat, karena menindas kita, harus dilawan dengan segala kekuatan.

Dulu kita hanya memiliki selembar kain berwarna merah putih dan sebuah lagu, kita bisa merdeka, kenapa, karena kita punya harga diri, cita-cita dan semangat untuk merdeka sebagai sebuah bangsa.

Bukan seperti nakhoda perahu kita. Bertekuk lutut, mencium kaki para perompak dengan mengorbankan apa yang kita miliki, termasuk harga diri kita. Cilakanya lagi, para perompak dianggap sebagai kawan baiknya untuk mengarungi lautan yang berombak ganas ini. Benar-benar buta dan tuli.

Mereka itulah para pengecut yang menjerumuskan kita semua. Mengagung-agungkan kekuatan tuannya, dan tidak percaya dengan kekuatan kita sendiri.

Bangsa kita adalah bangsa yang suka persahabatan, selama persahabatan itu adil, tidak imperialis!

Membangun bangsa hanya tiga hal modalnya, kita bisa makan, kita punya kekuatan dan saling percaya diantara kita, sudahlah cukup. Kalau toh kita tidak punya kekuatan, asal kita masih bisa makan dan saling percaya, kita masih bisa. Tidak bisa makanpun, kalau kita masih saling percaya, kita masih sebagai sebuah bangsa. Itu ibaratnya. Maka jangan pernah takut serta menjadi pengecut.

Cina hanya berawal dari beras, kapas dan baja. Enam puluh tahun, enam puluh tahun, mereka membangun bangsanya, dengan reformasi agraria, dengan menyusun undang undang perkawinan, merubah budaya bangsanya, sekarang sudah menjadi penguasa dunia.

Enam puluh lima tahun kita merdeka. Enam puluh lima tahun, seolah-olah kita tidak berbuat apa-apa, membangun demokrasi, jiplak sana-sini, akhirnya ribut sendiri, ujungnya menjadi bangsa kuli di tanah airnya sendiri. Bangsa kebo, diantara kuda-kuda dan singa.

Kita memiliki semuanya! Kenapa kita harus tunduk kepada mereka yang jelas-jelas menjajah kita.

Pada awalnya bangsa Cina hanya memiliki San Min Chu I, kita pun juga punya Pancasila, selembar kain dan sebuah lagu.

Jangan takut berjuang untuk mengambil hak kita sendiri. Berjuang untuk mengambil kembali tambang-tambang kita yang dijarah perompak imperialis. Bersikap tegas untuk menghapus hutang yang telah memenjarakan kehidupan rumah tangga bangsa kita. Bertempur untuk membangun bangsa kita sendiri. Jalan kita adalah JALAN SUCI! Bertarung untuk harga diri!

Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:

"Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, TaƱjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

("Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".)

Hidup adalah pertempuran, sebelum ada perdamaian. Perang sebelum ada kedamaian, sebelum terwujud keadilan, sebelum kematian. Perang dilakukan untuk membuat perubahan. Perang modern, dengan pikiran modern, cara-cara modern. Berjuang untuk membebaskan diri adalah jalan terbaik, pertempuran yang adil.

Jangan jadi tukang jiplak, seperti saudara kandung kita, yang nakal karena mengidolakan cerita-cerita jaman dulu kala, dari negeri Atas Angin. HAH! Hidup dan berjuang haruslah dialektis. Disesuaikan dengan kondisi bangsa kita sendiri. Begitulah! Heroisme perlu, tapi yang tepat dan rasional.

Berubah, kita ingin perubahan sekarang juga! Merubah diri kita untuk merubah bangsa kita.

Mari kita Ikrarkan kembali Sumpah Palapa. Sumpah generasi pertama, Majapahit dan Sriwijaya membangun Nusantara, generasi kedua mengangkat senjata mengusir Kolonialisme kuno Belanda. Generasi ketiga mengkombinasikan perang gerilya dengan organisasi massa mengusir penjajah membangun bangsa. Generasi keempat, kita generasi ke empat. Tugas kita jelas, membebaskan kembali Nusantara.

Ikrarkan Sumpah kita, semangat abad XIII yang lalu! Untuk merebut kembali perahu besar kita, membebaskan bangsa kita, mengarungi samudera bersama-sama, dendangkan lagu Barisan Ibu serta Indonesia Raya, di sepanjang katulistiwa, membelah cakrawala.

Membebaskan bangsa besar, adalah tugas besar, cita-cita besar, haruslah dengan alat yang besar. Sumpah Palapa, kaca benggala kita.

Senja kala Jakarta,

awal tahun 2010

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Buruh Melawan Deindustrialisasi


Setelah tenggelam oleh berita-berita situasi "perekonomian yang membaik", isu deindustrialisasi (wujudnya penutupan pabrik atau pengurangan kapasitas produksi) kembali mencuat. Kali ini datang dari ekonom Dr. Faisal Basri dalam finalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 Pembangunan Industri Pengolahan di Jakarta yang diselenggarakan oleh KADIN, Kompas (7/10).
Gejala tersebut ditunjukkan oleh menurunnya angka pertumbuhan industri manufaktur dari tahun ke tahun sejak krisis tahun 1997-1998. Faisal hanya menyebut salah satu pemicu deindustrialisasi, yaitu minimnya dukungan perbankan. Bank lebih sibuk mengurus konsumsi daripada produksi.
Hampir tepat satu tahun sebelumnya, ekonom Dr. Henri Saparini memperingatkan gejala ini, dan menunjukkan kebijakan liberalisasi yang diterapkan pemerintah sebagai sumber masalah (dalam artikel Deindustrialisasi, Buah Neoliberalisme, media online Okezone, 8 Oktober 2008). Setidaknya Henri menyebut masalah terkait liberalisasi ekspor bahan baku (contoh kasus rotan), liberalisasi impor produk barang konsumsi (tekstil, garmen, dll), dan liberalisasi pada sektor energi (ekspor batubara, minyak, dan gas) sebagai penyebab deindustrialisasi. Sebelumnya juga ada ekonom-ekonom lain yang mengingatkan.

Terus membayangi
Artinya, ini bukan hal baru, dan terus membayangi kehidupan buruh serta rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Sebatas pengamatan kami, buruh manufaktur adalah kelompok yang kehidupannya terancam kena dampak langsung deindustrialisasi (sementara dampak tak langsungnya jauh lebih luas). Banyak perusahaan harus tutup, dan banyak lainnya harus bersiasat memotong biaya biaya produksi. Seringkali berupa pemotongan biaya tenaga kerja (labor cost). Wujudnya seperti PHK (efisiensi), menekan uang transportasi/uang makan, menekan kenaikan upah, merubah status kerja menjadi pekerja kontrak/outsourcing, fasilitas perusahaan yang minim bagi buruh, dll., bahkan sampai muncul kasus perusahaan yang mengkorupsi iuran jaminan sosial buruh yang seharusnya disetorkan ke Jamsostek.
Kembali merujuk pengalaman praktis, banyak kasus melanggar peraturan dan perundang-undangan. Atau istilah hukum yang cukup akrab bagi buruh adalah "melanggar hak-hak normatif". Setiap terjadi pelanggaran, pihak perusahaan bisa bertindak sekehendak hati, karena ia berada pada posisi berkuasa atas modal. Dalam banyak kejadian, modal ini juga digunakan untuk menjinakkan aparatus negara, menutupi pemberitaan (menyogok media), membayar preman, atau bahkan untuk menjinakkan serikat buruh/pekerja.

Batas kompromi
Namun dalam hal hak normatif serikat-serikat buruh militan umumnya enggan berkompromi. Di sini ada pagar pembatas yang jelas, dan sebagai wujud ‘pengertian' atas kondisi usaha di dalam situasi krisis, serikat buruh lebih berkenan berunding di atas basis normatif. Kurang dari standar normatif hanya terjadi pada situasi yang tidak biasa, yaitu perusahaan dalam keadaan terancam (tapi belum) bangkrut yang dibuktikan dengan hasil audit akuntan publik independen (bisa ditunjuk oleh Pengadilan Hubungan Industrial [PHI]).
Dalam situasi yang sulit, lapangan pekerjaan terbatas, kebutuhan hidup yang begitu mendesak, maka pekerjaan tetap dengan upah rendah seringkali dianggap tidak persoalan. Paling tidak untuk sementara waktu. Keadaan dilematis ini yang kadang terpaksa menggiring buruh untuk berkompromi yang lebih rendah, sampai hampir mencium tanah.
Dalam proses perundingan/negosiasi (bipartit ataupun tripartit) bisa terjadi pemogokan atau bentuk perlawanan kolektif lainnya. Sebenarnya, terpenuhinya hak normatif saja pun belum memenuhi kelayakan hidup buruh sebagai manusia (manusiawi). Namun di sini ada landasan hukum yang memberi harapan ‘kemenangan' kecil bagi buruh selama kemenangan politik belum dicapai.
Tak jarang juga lahir cerita-cerita ‘kekalahan' dari perlawanan di tingkat pabrik yang berujung PHK. Seringkali buruh yang ter-PHK harus mengantri pekerjaan di pabrik lain, atau mengambil pesangon yang tak seberapa untuk memulai hidup di sektor informal (meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal bisa dilihat sebagai salah satu indikasi terjadinya deindustrialisasi).
Sempat tersimak, upaya sejumlah buruh di suatu kawasan industri lama (sekitar Jakarta Barat/Utara?) untuk "mengoperasionalkan" sendiri (tanpa majikan) pabrik yang ditinggal pergi majikannya. Namun saya belum sempat menanyakan lebih jauh kepada serikat buruh yang memimpin aksi ini. Tanpa mengecilkan arti penting dari pengalaman praktis tersebut, pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana buruh (mulai dari tingkat manajemen sampai ke bagian produksi dan gudang) mengakses modal, bahan baku, energi, pasar, dll., masihmenggelayut di pikiran.

Catatan penting dari tiap perlawanan kolektif adalah pengalaman berjuang. Mungkin pengalaman ini tidak merata dialami buruh, namun setidaknya ada beberapa semangat positif tertimba seperti keberanian menghadapi ketidakadilan/penindasan, serta semangat solidaritas atau kebersamaan dalam mencari dan memperjuangkan solusi.

Upaya politis
Batas kompromi lainnya dilandasi pemahaman sederhana, bahwa pengalaman konflik perburuhan di masing-masing perusahaan sebenarnya hanya gambaran kecil dari kecenderungan deindustrialisasi secara nasional. Kemunduran ini, seperti dikutipkan dari para ekonom di awal tulisan ini, terkait dengan kebijakan pemerintah (politik). Tajuk Rencana Kompas (8/10) telah kembali mengkonfirmasi, meski dibungkus sejumlah harapan penyelesaiannya oleh pemerintahan sekarang (SBY-Boediono).
Sejak kelahirannya, bangsa Indonesia telah menyatakan bahwa hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah fondasi bagi kemajuan yang dicita-citakan. Ketika fondasi tersebut terbukti semakin ditelantarkan maka perjuangan untuk memutar haluan menjadi semakin obyektif dan mendesak.

Atas pijakan ini politik kaum buruh menemukan lapangan bersama unsur-unsur sebangsa yang memiliki komitmen yang sama untuk memajukan kepentingan bersama. Dalam lapangan politik perjuangan buruh menjadi lebih luas, termasuk mengangkat program-program ‘non perburuhan', baik terkait kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dll., ataupun terkait hal ekonomi lain seperti masalah eksploitasi kapitalisme terhadap kekayaan nasional dan masalah korupsi. Sementara program-program politik perburuhan seperti hentikan politik upah murah untuk menarik investor, pencabutan produk perundang-undangan yang anti-buruh, masalah birokrasi, dll., dapat menjadi bagian dari program perjuangan melawan neoliberalisme.

Tanpa perlu menaruh harapan yang berlebihan, mari kita buktikan, apakah persoalan-persoalan yang sudah banyak dikemukaan oleh berbagai pihak terkait deindustrialisasi ini akan segera diatasi oleh ‘pemerintahan baru' nanti. Misalnya terkait liberalisasi impor barang jadi, ekspor bahan mentah, dan kedaulatan energi. Ataukah, liberalisasi (penjarahan) ekonomi yang celaka ini akan terus dilanjutkan bergandengan dengan KKN (seperti Century Gate) dan keseolah-olahan.

*) Penulis adalah Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).

SEMAUN

SEMAUN
Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra'jat Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai Maksoednja jaitoe HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA'JAT HINDIA (Semaoen, 24 Djoeli 1919)

Text Widget

Text Widget